Berawal dari ngeliat ini di linimasa
Nampaknya penggunaan kata "Mainstream" sudah sangat menjamur ya. Sekarang orang ingin melakukan hal yang beda karena tidak mau dianggap mainstream. Menurut bab Analisis Kultivasi dari mara kuliah Ilmu Komunikasi II yang gue pelajari, kata Mainstream memiliki arti kecendrungan bagi para penonton kelas berat (nonton tv diatas 4 jam) untuk menerima realitas budaya dominan yang mirip dengan yang ditampilkan di televisi, walaupun hal ini sebenernya berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya. Tapi itu bahasa ribet, ya intinya mainstream adalah umum atau yang sudah lumrah.
Jadi sekarang.....
Puasa di bulan Ramadhan is too mainstream.
Lupa sama sahabat is too mainstream.
Jadi anak indie nan hipster is too mainstream.
Pdkt di twitter is too mainstream.
Beli tas FURLA yang asli maupun kw is too mainstream.
Nulis autotext "Apa Perlu" untuk kesan kocak is too mainstream.
Nikung temen sendiri is too mainstream.
Ngepost gambar dengan berbagai tagar gak jelas is too mainstream.
Check in and always update keberadaan di Path is too mainstream.
Ngaret dengan alesan macet is too mainstream.
Ngaku gak belajar buat ujian tapi dapet nilai A is too mainstream.
Diem - diem kepo is too mainstream.
Dan...........nulis tentang mainstream is too mainstream.
Nad