Sunday, April 7, 2013

Sudah Lama


Ceritanya dulu lagi sering bolak balik kantor Kompas waktu nengokin junior baru Kompas Muda yang sedang magang. Nah sekalian yaaaa sempat juga pernah ngobrol panjang bertukar pikiran dan pendapat sama mba Doe tentang musik indie. Dikirain cuma buat bahan obrolan aja, eh ternyata naik cetak dan terbit tepat di hari ulang tahun ke 19. Ahahaha ketauan kan jarang baca koran jadinya malah baru tau sekarang bahwa ada artikel ini. Lumayan nama kesebut disini :""""""")


Musik Indonesia, Kompas 21.09.2012



INDUSTRI MUSIK INDONESIA


Bukan karena 

Ingin Kaya 

Raya  

Rabu (19/9) pukul 05.00, Andhika (20) terbangun dari tidurnya oleh bunyi alarm yang dia pasang di telepon selulernya. Lagu alarm yang dia pilih cukup ampuh, sebuah lagu milik band indie Efek Rumah Kaca.
”Aku pasang ’Cinta Melulu’ karena lagunya berisik,” ujar Andhika. Bersama ”Cinta Melulu”, Andhika memulai hari-harinya. Pilihan lagu alarm itu bukan tanpa alasan. Andhika adalah satu dari sekian banyak penggemar Efek Rumah Kaca (ERK) yang beranggotakan Cholil Mahmud, Adrian Yunan Faisal, dan Akbar Bagus Sudibyo itu.
Selain ERK, Andhika juga menggemari Stereomantic, Tantrum, The Milo, Gentle Sons, Fstvlst, dan Rocket Rockers. Semuanya band indie asal Indonesia. ”Aku sudah enggak pernah dengerin band-band mainstream lagi. Malas. Lagu mereka menye-menye, liriknya tidak masuk akal. Semuanya tentang cinta. Hidup kan tidak melulu soal cinta,” lontar Andhika.
Dia mencontohkan sejumlah lagu milik ERK yang temanya sangat beragam, namun nyata terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Soal hujan, kemajuan teknologi, hingga kenakalan remaja.
Aztari Ayu Nadya (18) juga penggemar band indie. ”Aku suka Mocca, The Trees and The Wild, White Shoes and The Couples Company, sama Sore,” ujar Nadya. Serupa dengan Andhika, Nadya juga tidak terlalu gemar band-band mainstream. Hanya beberapa band saja yang masih dia dengarkan, seperti Sheila On7 dan Maliq and D’esentials.
Menurut Nadya, jenis musik band indie jauh lebih menarik ketimbang band-band mainstream. ”Yang mainstream kadang-kadang alay. Tidak berani beda dan itu-itu aja, hampir sama satu sama lain. Isinya semua tentang cinta yang menye-menye,” papar Nadya. Sedangkan tema cinta di tangan band-band indie menurut dia diutarakan dengan lirik yang bagus.
Selain lirik, performa band indie yang unik dan kadang nyentrik juga jadi alasan. Andhika dan Nadya pun mengejar konser band indie favorit, memburu CD yang kerap dikemas serupa karya seni, dan membeli pernik-pernik (merchandise) yang dibuat terbatas.
Didasari kecintaan
Di jajaran band indie Tanah Air, nama ERK tak asing. Kedua album ERK, Efek Rumah Kaca dan Kamar Gelap, terjual antara 7.000-9.000 keping. Lumayan untuk ukuran band indie.
Di luar aktivitas panggung dan urusan rekaman album baru, Cholil, vokalis Efek Rumah Kaca, adalah pekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hukum. Dua personel ERK, Adrian dan Akbar, juga memiliki pekerjaan lain. ”Saya tinggal rayu-rayu bos agar tetap bisa menjalani aktivitas bermusik saya,” ujar Cholil seraya tersenyum.
”Kami main musik karena kami mencintai musik. Karena kecintaan, sering kali hasilnya lebih maksimal. Masalah orang suka atau tidak, tak masalah,” ujar Cholil.
Penjualan cakram padat (CD) yang hanya 7.000-9.000 keping, bukan masalah bagi mereka. Yang terpenting bagi mereka, bagaimana menyalurkan kreativitas musik. Berapa pun apresiasi yang mereka terima, mereka syukuri. ”Karena kami punya pekerjaan, bila terjadi apa-apa kami tidak khawatir. Setidaknya kami punya jalan keluar,” tutur Cholil.
Arian, vokalis band indie Seringai bergenre rock cadas menuturkan hal serupa. ”Kami bersenang-senang dengan musik kami. Tujuan kami bukan untuk jadi kaya raya,” tuturnya.
Meski belum sampai mencetak angka penjualan CD hingga puluhan ribu keping, album terbaru Seringai, Taring, laris-manis diburu penggemar mereka. CD versi eksklusif seharga Rp 75.000– yang mereka produksi sebanyak 999 keping–ludes dalam dua hari. Sementara CD versi reguler yang dibanderol Rp 35.000, hingga saat ini sudah terjual sebanyak 7.000 keping. ”Dengan penjualan CD eksklusif selama dua hari itu, kami sudah balik modal rekaman,” ungkap Arian.
Sejak rilis Taring, jadwal manggung Seringai penuh hingga Desember 2012. ”Tetapi kami hanya main weekend (akhir pekan) karena di hari biasa kami harus bekerja,” kata Arian yang berprofesi sebagai ilustrator.
Grup indie White Shoes and The Couple Company juga mencatat penjualan sebanyak 10.000 keping CD untuk album kedua mereka, Vakansi. Piringan hitam mereka yang diproduksi 300 buah dengan harga Rp 275.000 habis dalam waktu dua minggu di dalam negeri.
Angka itu belum termasuk yang terjual di luar negeri. Jadwal manggung mereka juga nyaris penuh setiap akhir pekan, rata-rata 8-9 kali dalam satu bulan.
Para personel White Shoes sepakat bahwa tugas musisi adalah berkarya dengan memegang kaidah tidak menyepelekan dan bertanggung jawab kepada pendengar mereka. ”Jadi jangan berpikir kalau pendengar kita bodoh. Jangan anggap mereka sebagai obyek, hanya untuk beli benda saja,” tambah Sari.
”Bila yang dikejar hanya uang, ingin cepat kaya, maka tidak akan pernah ada puasnya, kurang terus. Selama kita selalu kreatif, pasti bisa bertahan,” ujar Saleh.
Sebagaimana ERK dan Seringai, White Shoes juga mengeluarkan pernik-pernik secara terbatas. ”Untuk satu produk maksimal 100 buah,” papar manajer White Shoes, Indra Ameng.
Sementara Seringai, misalnya, untuk satu desain kaus bisa menjual 200-300 lembar dengan harga Rp 125.000. Saat ini Seringai setidaknya memiliki 11 desain. ”Ini yang tidak dimiliki industri musik mainstream,” papar Arian.
Tidak heran bila di tengah lesunya industri musik Tanah Air, band-band indie seolah bergeming. Mereka menunjukkan daya tahan dengan tetap berstrategi menghadapi perubahan zaman.
(Dwi As Setianingsih)